Search This Blog

Sunday, December 18, 2011

Perkembangan Perbankan Syariah
Perbankan syari’ah di Indonesia telah mengalami perkembangan dengan pesat, masyarakat mulai mengenal dengan apa yang di sebut Bank Syari’ah. Dengan di awali berdirinya pada tahun 1992 oleh bank yang di beri nama dengan Bank Mu’amalat Indonesia (BMI), sebagai pelopor berdirinya perbankan yang berlandaskan sistem syari’ah, kini bank syari’ah yang tadinya diragukan akan sistem operasionalnya, telah menunjukkan angka kemajuan yang sangat mempesonakan.
Bank syaria’h mulai digagas di Indonesia pada awal periode 1980-an, di awali dengan pengujian pada skala bank yang relatif lebih kecil, yaitu didirikannya Baitut Tamwil-Salman, Bandung. Dan di Jakarta didirikan dalam bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti. Berangkat dari sini, Majlis Ulama’ Indonesia (MUI) berinisiatif untuk memprakarsai terbentuknya bank syari’ah, yang dihasilkan dari rekomendasi Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, dan di bahas lebih lanjut dengan serta membentuk tim kelompok kerja pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Syahid Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990.
Awal berdirinya bank Islam, banyak pengamat perbankan yang meragukan akan eksistensi bank Islam nantinya. Di tengah-tengah bank konvensional, yang berbasis dengan sistem bunga, yang sedang menanjak dan menjadi pilar ekonomi Indonesia, bank Islam mencoba memberikan jawaban atas keraguan yang banyak timbul. Jawaban itu mulai menemukan titik jelas pada tahun 1997, di mana Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup memprihatinkan, yang dimulai dengan krisis moneter yang berakibat sangat signifikan atas terpuruknya pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi yang mencapai rata-rata 7% per tahun itu tiba-tiba anjlok secara spektakuler menjadi minus 15% di tahun 1998, atau terjun sebesar 22%. Inflasi yang terjadi sebesar 78%, jumlah PHK meningkat, penurunan daya beli dan kebangkrutan sebagian besar konglomerat dan dunia usaha telah mewarnai krisis tersebut. Indonesia telah berada pada ambang kehancuran ekonomi, hampir semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan negatif. Sektor konstruksi merupakan sektor yang mengalami pertumbuhan negatif paling besar, yaitu minus 40% karena di akibatkan tingkat bunga yang sangat tinggi, penurunan daya beli, dan beban hutang yang sangat besar. Sektor perdagangan dan jasa mengalami kontraksi minus 21%, sektor industri manufaktur menurun sebesar 19%. Semua berakibat dari implikasi krisis moneter yang mengguncang Indonesia.
Kondisi terparah ditunjukkan oleh sektor perbankan, yang merupakan penyumbang dari krisis moneter di Indonesia. Banyak bank-bank konvensional yang tidak mampu membayar tingkat suku bunga, hal ini berakibat atas terjadinya kredit macet. Dan non-performing loan perbankan Indonesia telah mencapai 70%. Akibat dari hal tersebut, dari bulan juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999, pemerintah telah menutup sebanyak 55 bank, di samping mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya di bantu untuk melakukan rekapitalisasi. Sedangkan bank BUMN dan BPD harus ikut direkapitalisasi.
Dari 240 bank yang ada sebelum krisis moneter, hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah dan dinyatakan sehat, sisanya pemerintah dengan terpaksa harus melikuidasinya.
Salah satu dari 73 bank tersebut, terdapat Bank Mu’amalat Indonesia yang mampu bertahan dari terpaan krisis ekonomi, yang nyata memiliki sistem tersendiri dari bank-bank lain, yaitu dengan memberlakukan sistem operasional bank dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan syari’ah sangat berbeda dengan sistem bunga, di mana dengan sistem bunga dapat ditentukan keuntungannya diawal, yaitu dengan menghitung jumlah beban bunga dari dana yang di simpan atau dipinjamkan. Sedang pada sistem bagi hasil ketentuan keuntungan akan ditentukan berdasarkan besar kecilnya keuntungan dari hasil usaha, atas modal yang telah diberikan hak pengelolaan kepada nasabah mitra bank sayari’ah.

Tuesday, December 13, 2011

Era Keemasan Ekonomi Syariah

Perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Sebagai contoh perbankan umum pertama yang berbasis syariah di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang mulai beroperasi pada 1992. Perkembangan bisnis bank syariah berlangsung lambat, sampai dengan lima tahun kedepan belum ada pertambahan bank baru. BMI masih menjadi satu-satunya bank syariah. Baru pada 1998 pasar bank syariah mulai diramaikan dengan hadirnya PT. Bank Syariah Mandiri (BSM) anak perusahaan Bank Mandiri. Selanjutnya menyusul kemunculan PT. Bank Mega Syariah pada 2001. Memasuki tahun 2009 ini ada dua bank baru memasuki pasar perbankan syariah yaitu PT. Bank Bukopin Syariah dan PT. BRI Syariah. Saat ini, jumlah BUS yang beroperasi menjadi 5 bank yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank Bukopin Syariah dan Bank BRI Syariah. Sementara itu jumlah kantor bank syariah saat ini tercatat sebanyak 908 kantor ditambah channeling sebanyak 1.452 kantor.
Peningkatan pertumbuhan lembaga keuangan syariah juga didukung dengan fakta bahwa penghimpunan dana dari masyarakat atau disebut dana pihak ketiga (DPK) mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Tingkat pertumbuhan DPK tercatat rata-rata 32,8% per tahun dalam periode 2004 - 2008, yaitu melonjak menjadi Rp 36,8 triliun pada 2008 dari Rp 11,8 triliun pada 2003. DPK selama 2008 yang mencapai Rp 36,8 triliun merupakan kontribusi terbesar dari deposito mudharabah yaitu Rp 20,1 triliun atau sekitar 54,6%, tabungan mudharabah Rp 12,5 triliun (33,8%) dan giro wadiah Rp 4,2 triliun (11,6%)
Dilihat dari pertumbuhannya, penghimpunan DPK perbankan syariah lebih tinggi dibandingkan bank konvensional. Namun dari sisi jumlah DPK bank syariah masih sekitar 2% dibandingkan DPK konvensional. Peningkatan DPK terutama didukung oleh bertambahnya unit-unit usaha syariah (UUS) milik bank konvensional melalui strategi `office chanelling`, dari sebelumnya rata-rata 59,6% dalam tiga tahun ini terakhir ini menjadi 84,0%. Diperkirakan pada tahun 2013, lembaga keuangan syariah membutuhkan 16.000 karyawan baru sebagai bentuk proses perkembangannya. Selain itu tidak hanya pada perbankan syariah saja lembaga keuangan yang menerapkan sistem syariah, akan tetapi sudah mulai merambah lembaga keuangan non bank yang lain. Seperti contoh asuransi syariah (takaful), pegadaian syariah (rahn) dan baitul maal wa tamwil (BMT). Hal inilah yang mendorong masyarakat Indonesia untuk mempelajari dan mengembangkan ekonomi yang berbasis syariah.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa dengan semakin pesatnya pertumbuhan lembaga keuangan syariah, maka akan semakin banyak pula SDM berbasis Syariah yang dibutuhkan oleh lembaga keuangan syariah. Hal ini sebenarnya sudah dijawab oleh berbagai universitas, baik universitas umum maupun universitas berbasis Islam untuk menjawab tantangan di Era keemasan lembaga keuangan syariah dengan medirikan fakultas atau jurusan/prodi yang konsen menekuni bidang ekonomi syarih. Tetapi yang menjadi kendala, SDM yang digunakan oleh lembaga keuangan syariah untuk saat ini, banyak SDM yang masih berbasis konvensional. Karena memang SDM yang berbasis syariah kalah bersaing dalam hal perekrutan untuk masuk dalam lembaga keuangan syariah. Ini yang menjadi PR bagi kaum intelektual Ekonomi Syariah.